Sabtu, 14 November 2009

Dien Tamaela, Putri Dokter dari Maluku


Puisi Chairil Anwar berjudul Cerita Buat Dien Tamaela, sangat populer. Meskipun begitu populer, Dien Tamaela ternyata menjadi sebuah misteri. Siapakah Dien Tamaela? Dien Tamaela bernama lengkap Leonardine Hendriette Tamaela. Dia lahir di Palembang, 27 Desember 1923 sebagai putri pertama pasangan dr Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane.

Dien mempunyai seorang adik kandung bernama Lebrin Agustien Tamaela, yang lahir di Malang, 21 Agustus 1926. Sang adik dikenal dengan nama Dee, seorang dokter anak yang masih hidup di Menteng Jakarta Pusat dalam usia 83 tahun.

Dien dan Dee adalah putri dr Lodwijk Tamaela, pria kelahiran Ambon, 4 Maret 1896. Sang dokter meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalulintas di Mojokerto, 27 Juli 1938. Nama sang dokter diabadikan di Ambon sebagai nama ruas jalan dari Tugu Trikora menuju Batugantung.

Ibunda Dien dan Dee yakni Mien Jacomina Pattiradjawane lahir di Ambon, 8 September 1897. Sejak sang suami meninggal tahun 1938, Mien jualah yang mengasuh kedua putrinya. Waktu itu Dien berusia 15 tahun dan Dee baru 12 tahun.

Mien hidup di Jakarta dalam usia yang panjang. Dia baru menghembuskan nafas terakhir di Jakarta, 28 Oktober 1996 dalam usia 99 tahun.

Dien Tamaela sempat belajar di MULO Jakarta. Namun sampai kelas dua, dia pindah ke Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak. Nahas sebab pada tahun 1942, Jepang mulai menguasai Jakarta sehingga sekolah-sekolah ditutup.

Dien pun putus sekolah. Tapi Dien melamar kerja di kantor pemerintah Jepang, dan diterima sebagai tenaga administrasi sampai Indonesia merdeka. Setelah Jepang angkat kaki, tentara NICA ada di mana-mana.

Meskipun situasi tidak menentu, namun komunitas Maluku di Jakarta tetap berada dalam tradisi seni. Dien yang pandai bermain piano, secara rutin tampil dalam siaran budaya Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.

Sebagai pianis, mengiringi pemuda-pemuda Ambon bernyanyi. Dien juga masuk dalam kelompok penyanyi. Lagu-lagu dan pantun antara lain ditulis oleh seniman Buce Tahalele.

Sementara Dee, adik kandung Dien yang hidup membujang di Apartemen Eksekutif Menteng, lebih beruntung ketimbang kakaknya. Dee mendapat kesempatan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan lulus tahun 1956. Dia memilih menjadi dokter anak dan bekerja sampai pensiun. Dee pernah bertugas di RSU Kudamati Ambon tahun 1957-1960.
Sumber : okezone.com


Cerita Buat Dien Tamaela


Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau....

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.




Senin, 02 November 2009

Puisi dan Cerpen

LUKA

saat aku ingin berlari

yang ada hanya sepi

saat aku ingin berdiri

yang ada hanya lirih

bisu….

diamkan saja aku…

sampai goresan hati terbuka kembali

biarkan saja aku!!!

hingga luka lama terbuka kembali

hentikan….

tolong..

jangan sakiti aku lagi…

demi ku, kamu, dan dia…..



CINTA

Mungkin kau tak lagi mengingatku
Mungkin aku tak lagi pernah ada dalam hatimu..
Mungkin kau tak lagi membayangkanku
mengingat semua kenangan yang pernah terangkai di antara kita
Biarlah …
Biarlah aku tetap dalam bayangmu
Biarlah aku selalu mengingatmu
mengenangmu dalam setiap langkahku
Sekalipun rindumu tak ada
Biarlah rinduku yang berjaya
Sekalipun cintamu telah memudar
biarlah cintaku yang terus bersinar
meski terpuruk dalam keputusasaan
Maafkan ….
Maafkan karena aku mencintaimu
Maafkan karena rindu itu tak mau hilang
Karena …
jauh dilubuk hatiku
masih tersimpan harapan
tuk tetap dicintaimu




Cermin Seekor Burung


Ketika musim kemarau baru saja mulai. Seekor burung pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara, mencari udara yang selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.

Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor kerbau yang kebetulan lewat menghampirinya. Namun si burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor kerbau. Dia menghardik si kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat di atas burung tersebut. Si burung pipit semakin marah dan memaki maki si kerbau. Lagi-lagi si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.

Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan-pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si burung pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, si burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si burung, dan tamatlah riwayat si burung pipit ditelan oleh si kucing.

Hmm… tak sulit untuk menarik garis terang dari kisah ini, sesuatu yang acap terjadi dalam kehidupan kita: halaman tetangga tampak selalu lebih hijau; penampilan acap menjadi ukuran; yang buruk acap dianggap bencana dan tak melihat hikmah yang bermain di sebaliknya; dan merasa bangga dengan nikmat yang sekejap. Burung pipit itu adalah cermin yang memantulkan wajah kita…